
Merawat Reputasi, Membangun Narasi: Humas sebagai Garda Depan Universitas
Oleh Astri Amanati Budiningtyas, S.Sos, MM
Pranata Humas UIN Walisongo Semarang
Di tengah arus informasi yang deras dan kompetisi reputasi antar perguruan tinggi yang kian ketat, keberadaan pranata humas universitas tak lagi bisa dipandang sebagai pelengkap struktural belaka. Humas bukan sekadar unit dokumentasi atau pelaksana protokoler. Ia adalah penjaga garda depan citra institusi, perancang narasi strategis, serta mediator antara kampus dan masyarakat luas. Reputasi perguruan tinggi bukanlah sesuatu yang tumbuh secara alamiah, melainkan dibentuk dan dirawat melalui komunikasi publik yang terencana, konsisten, dan kredibel.
Selama bertahun-tahun, banyak institusi pendidikan tinggi masih melihat fungsi humas sebagai “tukang siar berita kampus.” Ketika kegiatan berlangsung, humas datang untuk memotret, menulis siaran pers, lalu mendistribusikannya ke media. Namun, realitas komunikasi publik masa kini menuntut lebih dari itu. Humas dituntut hadir sejak proses awal: merancang pesan, membingkai sudut pandang, mengantisipasi respons publik, hingga mengelola krisis bila terjadi. Humas seharusnya menjadi mitra strategis pimpinan universitas, bukan hanya operator teknis di barisan belakang.
Reputasi universitas, sebagaimana halnya reputasi lembaga manapun, dibentuk melalui persepsi publik. Persepsi itu lahir dari narasi yang diterima masyarakat secara berulang dan konsisten. Di sinilah peran humas menjadi vital: membangun dan menyampaikan narasi yang memperkuat identitas, prestasi, dan kontribusi kampus terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, humas tidak hanya bertugas menyebarkan informasi, tetapi juga mengelola makna.
Pekerjaan humas kampus menjadi semakin kompleks ketika institusi menghadapi isu-isu sensitif atau krisis reputasi. Mulai dari konflik internal, viralnya pernyataan dosen di media sosial, hingga tuntutan mahasiswa yang menyebar luas di jagat digital. Dalam situasi semacam itu, kehadiran humas sebagai juru bicara yang tangguh sangat diperlukan. Kemampuan untuk merespons cepat, menyampaikan klarifikasi secara jernih, dan menjaga keseimbangan antara transparansi dan ketenangan menjadi kunci dalam meredam gejolak opini publik.
Era digital membawa tantangan sekaligus peluang besar bagi humas kampus. Di satu sisi, kanal komunikasi kini terbuka luas, mulai dari laman resmi, media sosial, hingga kanal video kreatif. Namun di sisi lain, kecepatan informasi juga melahirkan risiko disinformasi yang bisa dengan mudah mencederai citra institusi. Maka dari itu, humas tidak bisa hanya andalkan media konvensional. Mereka perlu hadir aktif di platform digital, dengan strategi konten yang adaptif dan pendekatan komunikasi yang humanis.
Lebih jauh, narasi yang dibangun oleh humas kampus seharusnya tidak terjebak dalam glorifikasi seremonial. Masyarakat tidak lagi hanya tertarik pada jumlah piagam atau panjangnya sambutan rektor. Publik ingin tahu kontribusi nyata kampus: bagaimana dosennya memberi dampak, bagaimana risetnya bermanfaat, bagaimana mahasiswa menjadi agen perubahan. Di sinilah pentingnya kemampuan humas untuk mentransformasikan bahasa akademik yang kerap abstrak menjadi cerita publik yang inspiratif.
Branding universitas bukan hanya soal desain logo atau tagline promosi. Ia adalah proses jangka panjang yang dibentuk melalui persepsi, pengalaman, dan kepercayaan publik. Humas memegang peran sebagai arsitek dari proses tersebut. Dalam dunia yang makin kompetitif, posisi kampus dalam peta keilmuan dan pendidikan nasional akan sangat ditentukan oleh bagaimana ia dikenali dan dipercaya oleh masyarakat.
Namun sayangnya, di banyak kampus, SDM humas masih kerap tertinggal dari tuntutan zaman. Minimnya pelatihan di bidang komunikasi strategis, jurnalistik, literasi digital, hingga media relations menjadi kendala dalam menghadirkan humas yang profesional. Diperlukan komitmen institusional untuk mendorong penguatan kapasitas humas sebagai bagian dari investasi reputasi jangka panjang.
Kolaborasi antara humas, akademisi, dan pimpinan universitas juga tak kalah penting. Dosen dan peneliti menyimpan banyak cerita hebat, namun kerap tak terdengar karena tak dikemas dengan baik. Rektor memiliki visi besar, namun bisa tak tersampaikan dengan utuh tanpa dukungan tim komunikasi yang cakap. Humas menjadi jembatan strategis di antara keduanya, penerjemah ide menjadi narasi yang bisa menyentuh hati publik.
Merawat reputasi dan membangun narasi bukanlah kerja sehari dua hari. Ia memerlukan konsistensi, kepekaan, dan kerja lintas disiplin. Di tengah tantangan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan yang terus berubah, humas universitas harus menjadi benteng terdepan yang menjaga kredibilitas kampus, sekaligus menjadi penutur kisahnya dengan cara yang paling meyakinkan.