Berita
Diskusi Ilmiah Studi Filologi dalam Kajian Naskah-Naskah Walisongo

Diskusi Ilmiah Studi Filologi dalam Kajian Naskah-Naskah Walisongo

UIN Walisongo Online, Semarang – UIN Walisongo kembali memantik percakapan akademik yang segar dan menantang. Melalui Diskusi Ilmiah bertajuk “Studi Filologi dalam Kajian Naskah-Naskah Walisongo”, kampus hijau ini mengajak publik untuk menelusuri jejak autentik sejarah penyebaran Islam di Jawa, sekaligus “menggugat” ulang pemahaman lama tentang warisan intelektual Walisongo.

Acara yang digelar Kamis (18/09/2025), mulai pukul 08.00 – 13.30 WIB di Ruang Theater Lantai 4 Gedung Rektorat UIN Walisongo Kampus III Ngaliyan, Semarang, menghadirkan narasumber diantaranya:

•            Dr. KH. Ahmad Baso – Pakar filologi dan pelacak naskah klasik.

•            Dr. H. Anasom, M.A. – Ketua Walisongo Center

•            Prof. Dr. Nizar, M.Ag. – Rektor UIN Walisongo yang membuka perspektif baru pentingnya kajian manuskrip dalam peradaban Islam Indonesia.

Sebelum membuka acara, Prof. Dr. Nizar, M.Ag. menekankan pentingnya filologi sebagai metodologi ilmiah. “Studi filologi sangat penting untuk menyingkap makna isi teks serta merekonstruksi sejarah. Lebih jauh, filologi membuka peluang kajian interdisipliner seperti linguistik, sejarah, ilmu sosial, dan ilmu keagamaan. Pendekatan ini sangat relevan dengan visi UIN Walisongo yang mengusung Unity of Sciences,” ujarnya.

Kajian filologi, ilmu bedah teks kuno, menjadi pintu masuk untuk menyingkap kembali pesan-pesan asli para wali. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan klaim sejarah yang kerap bias, kegiatan ini menawarkan keberanian intelektual: berani merunut, menantang, sekaligus menghidupkan kembali makna-makna yang terkubur dalam naskah Walisongo.

Dalam paparannya, Dr. KH. Ahmad Baso menegaskan, “Belajar filologi sebetulnya menjadi pembukaan kebenaran tokoh-tokoh Walisongo yang hadir secara akademis dan ilmiah. Melalui naskah, kita menemukan jejak mereka apa adanya, bukan sekadar cerita turun-temurun.” Baso juga menambahkan bahwa istilah sumber primer dalam kajian tradisional Nusantara memerlukan perdebatan serius. “Saya memandang Nusantara sebagai satu kesatuan maqasid, antar-manuskrip saling berkomunikasi, sehingga menelaah keseluruhan naskah menjadi penting. Inilah yang menuntut peneliti menguasai metodologi sejarah, filologi (tekstologi dan kodikologi), sastra, sekaligus bahasa-bahasa lokal yang terkait.”

Sementara itu, Dr. H. Anasom, M.A. menyoroti urgensi pelestarian naskah kuno sebagai warisan keilmuan bangsa. “Manuskrip bukan hanya benda mati, tapi saksi hidup proses Islamisasi yang dinamis. Filologi mengajarkan kita kesabaran menelusuri huruf, kata, dan konteks, sehingga sejarah tidak hanya diceritakan tetapi dihidupkan kembali,” tegasnya.

“Diskusi ini bukan sekadar nostalgia, tapi langkah provokatif untuk meneguhkan identitas Islam Nusantara yang kaya tradisi,” tambah salah satu panitia dengan nada penuh semangat.

Acara ini terbuka untuk umum, memberi kesempatan kepada mahasiswa, peneliti, budayawan, dan masyarakat luas untuk terlibat langsung dalam percakapan ilmiah yang memikat.