
Guru Matematika Akan Digantikan AI?
Oleh Muji Suwarno
Dosen Pendidikan Matematika UIN Walisongo Semarang
Di tengah perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), muncul satu pertanyaan yang kerap terlontar, baik secara serius maupun setengah bercanda: “Apakah guru matematika akan digantikan AI?”
Pertanyaan itu mungkin terdengar berlebihan. Namun, bagi sebagian guru, ini menjadi kegelisahan yang nyata. Kehadiran AI seperti ChatGPT, Photomath, atau Khanmigo memungkinkan siswa mendapatkan jawaban atas soal matematika yang sudah dilengkapi langkah pengerjaannya dalam hitungan detik. Dalam konteks ini, apa lagi yang tersisa dari peran guru?
Untuk menjawabnya, kita perlu kembali pada dasar profesi guru. Undang-Undang Guru dan Dosen di Indonesia menyebutkan bahwa seorang guru profesional wajib memiliki empat kompetensi utama: pedagogis, profesional, sosial, dan kepribadian. Di sinilah posisi guru menjadi jauh lebih kokoh dibanding sekadar mesin penjawab soal.
Kompetensi Pedagogis: Membaca Proses Belajar
Kompetensi pedagogis memungkinkan guru merancang pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik. Seorang guru bisa memilih strategi pengajaran yang sesuai, mengevaluasi kesulitan siswa, dan menyesuaikan irama pembelajaran dengan kebutuhan kelas.
AI memang mampu menjelaskan, tetapi tidak bisa menangkap kegelisahan siswa dari raut wajah atau bahasa tubuh. Ia tidak bisa mendorong siswa yang kehilangan semangat, atau menenangkan siswa yang frustrasi karena gagal memahami konsep. Di titik ini, peran guru sebagai pendidik sejati justru menjadi semakin penting.
Kompetensi Profesional: Mengembangkan Diri dan Memanfaatkan AI
Kompetensi profesional berkaitan dengan penguasaan materi dan perkembangan keilmuan. Guru yang memiliki kompetensi ini akan melihat AI bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai alat bantu pembelajaran.
AI dapat digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi, menyusun soal latihan yang bervariasi, atau menyediakan sumber belajar tambahan. Guru yang profesional tidak tertinggal oleh zaman, justru hadir sebagai jembatan antara kemajuan teknologi dan kebutuhan belajar siswa.
Namun, hal ini hanya mungkin jika guru terus belajar, terbuka terhadap teknologi baru, dan tidak terjebak dalam metode lama yang stagnan. Guru harus bertransformasi dari “sumber ilmu” menjadi fasilitator dan pembimbing proses berpikir.
Kompetensi Sosial: Menjadi Jembatan Antarmanusia
Kompetensi sosial menguatkan peran guru sebagai komunikator dan pembina relasi sosial. Guru tidak bekerja dalam ruang hampa. Ia membangun kedekatan, menjalin kepercayaan, dan menjadi teladan dalam interaksi.
AI tidak bisa membentuk komunitas belajar, tidak bisa membangun suasana kolaboratif, dan tentu tidak mampu menangani konflik antarsiswa atau menciptakan iklim kelas yang sehat. Dalam pendidikan, relasi antarmanusia bukan pelengkap—tetapi inti dari proses belajar.
Kompetensi Kepribadian: Menjadi Figur yang Menginspirasi
Kompetensi kepribadian menempatkan guru sebagai figur moral. Guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga menunjukkan nilai-nilai hidup: ketekunan, kejujuran, rasa ingin tahu, dan tanggung jawab.
Di era AI, ketika segala sesuatu bisa dicari dengan mudah, justru nilai integritas dan proses belajar yang otentik menjadi semakin krusial. Guru yang berkepribadian kuat akan menanamkan pentingnya berpikir, bukan sekadar mencari jawaban.
Teknologi untuk Membantu, Bukan Menggantikan
Tidak ada yang membantah bahwa AI membawa kemudahan dalam belajar matematika. AI menawarkan kecepatan, ketepatan, dan respons adaptif. Tiga hal ini yang sangat membantu terutama bagi siswa yang belajar secara mandiri.
Namun, AI tetaplah sistem berbasis data dan algoritma. Ia tidak memiliki empati, intuisi, atau pemahaman kontekstual. AI tidak bisa membedakan apakah siswa memahami konsep atau sekadar menyalin jawaban. Ia juga tidak bisa menyesuaikan pendekatan dengan dinamika psikologis dan sosial setiap individu.
Pertanyaan “Apakah guru matematika akan digantikan AI?” justru harus dibalik: “Apakah guru siap berkolaborasi dengan AI untuk memperkuat pembelajaran?” Di sinilah tantangan sesungguhnya. Guru yang tidak beradaptasi mungkin akan tergantikan bukan oleh AI, tetapi oleh zaman yang terus berubah.
Sebaliknya, guru yang memahami dan mengembangkan keempat kompetensinya akan tetap menjadi sosok sentral dalam pendidikan. AI bisa membantu menjelaskan materi, tetapi hanya guru yang bisa menumbuhkan semangat belajar. AI bisa memberikan solusi, tetapi hanya guru yang bisa membangun pemahaman.
Guru tidak akan digantikan AI. Yang akan tergantikan adalah pendekatan-pendekatan lama yang tak lagi relevan. Oleh karena itu, saat teknologi semakin canggih, yang kita butuhkan bukan penghapusan peran guru, melainkan penguatan kapasitasnya agar mampu hadir sebagai pendidik yang utuh dan mampu memanfaatkan teknologi dalam meningkatkan kualitas pendidikan.